Rabu, 12 Desember 2012

Saya dan PPKn / PKn / Kewarganegaraan (entah mana yang benar)


Cerita ini merupakan pengalaman pribadi saya yang berhubungan dengan Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) / Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) / Kewarganegaraan (entah mana yang benar)

Ketika saya menikmati pendidikan di Sekolah Dasar (SD), pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) rasanya menjadi pelajaran yang paling mudah. Mengapa? Karena setiap kali ada persoalan, jawabannya selalu berkutat pada gotong royong, kerukunan, dan tenggang rasa. Apalagi kalau soalnya adalah pilihan ganda. Hampir dipastikan pilihan-pilihan jawaban itu pasti muncul. Terang saja saya langsung menyilang pilihan jawaban tersebut karena pilihan yang lainnya sama sekali tidak ada hubungannya sama soal. Dilematis! Memang semudah itu PPKn di tingkat pendidikan Sekolah Dasar walaupun dalam tindakan nyatanya saya belum tahu apa makna gotong royong, kerukunan, dan tenggang rasa yang sebenarnya. Ketika itu! Boleh jadi saya juga harus bangga ketika Pak Guru (kesayangan saya) menanyakan pertama kali siapa yang hafal Pancasila. Saya masih ingat kalau tidak salah ada 6 anak yang menangkat tangan dengan semangat, termasuk saya. Enam anak lucu ini akhirnya memimpin “deklarasi” Pancasila di depan kelas. Sila per sila didengungkan seisi kelas. Biasa saja, tidak menggugah hati!?

Memasuki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), terdapat mata pelajaran yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Jika kita cermati, ada perubahan dari SD ke SMA untuk penamaan mata pelajaran ini, yakni hilangnya Pendidikan Pancasila. Pada pelajaran ini lebih mengutamakan sistem demokrasi, yakni dari, untuk, dan oleh siswa. Artinya, sistem pembelajarannya lebih menekankan kepada presentasi dan diskusi. Sistem inilah yang membuat saya semangat untuk mengikuti pelajaran ini. Saya selalu menyimak presentasi yang dilakukan. Bukan karena saya ingin memahami materi, tetapi mengumpulkan data untuk membuat pertanyaan yang akan diajukan pada sesi diskusi. Alasannya sederhana, yakni ingin mendapatkan nilai dan dapat memberikan pertanyaan berbobot yang bisa membuat peserta presentasi kesulitan dalam menjawab. Hahaha.... Alhasil jelas saja, setiap sesi diskusi saya menjadi siswa yang merupakan pilihan terakhir untuk ditunjuk oleh peserta presentasi. Tetapi untungnya Pak Guru selalu memberikan saya kesempatan. Bagaimana tidak? Saya selalu ngotot untuk diberikan kesempatan memberikan pertanyaan walaupun kesempatan bertanya sudah habis. Hehehe... Terima kasih Pak. Oya, Pak Guru ini juga yang menunjuk saya untuk mewakili Kabupaten Sidoarjo sebagai siswa teladan dalam ajang kompetisi siswa teladan tingkat provinsi. Bisa ditebak! Hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pantas saja lah, orang “slengekan” seperti saya kok ditunjuk sebagai siswa teladan. Tetapi mungkin Pak Guru tersebut memiliki pandangan yang berbeda.



Kembali ke topik!
Hal sebaliknya juga terjadi ketika kelompok saya menyajikan presentasi. Saking semangatnya untuk menjatuhkan saya, siswa lainnya selalu sudah membuat pertanyaan dari rumah dengan referensi buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Namun tidak berpengaruh! Semua pertanyaan bisa saya atasi dengan mudah, dengan bahasa retorika tanpa sebenarnya saya mengerti esensi jawaban yang saya berikan. Bermodal sikap yang meyakinkan dalam menjawab ternyata bisa membunuh kepercayaan diri siswa lainnya yang ingin “membantai” saya. Tetapi acapkali juga timbul perdebatan sehingga Pak Guru tersebut menengahi dengan cara kebapakkan. Jadi kesimpulannya, sekali lagi saya belum mampu memaknai lebih dalam esensi apa yang diajarkan dalam kewarganegaraan ini selain semangat untuk untuk menjatuhkan teman dalam sesi presentasi. Atau jangan-jangan apakah tindakan saya tersebut sudah merepresentasikan proses politik? Bisa jadi!

Masuk ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).... Jujur saya tidak tahu akan menulis apa tentang peristiwa yang terjadi ketika saya mengikuti mata pelajaran PKn karena benar-benar blank! Bahkan wajah dari gurunya saja tak ingat. Tidak berkesan sama sekali. Saya sempat berpikir, mungkin sejak SMA tidak ada pelajaran PKn. Entah mengapa bisa benar-benar amnesia. Mungkin karena ada sistem penjurusan di SMA. Sehingga ketika di kelas X, semua siswa fokus berlomba-lomba untuk masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) karena saat itu memang jurusan itulah yang “terkesan” prestige. Sementara setelah masuk ke dalam jurusan tersebut, orientasinya adalah fokus untuk memenangkan pertarungan Ujian Nasional (UNAS) yang cukup membuat “keder” banyak siswa. Jadi apa boleh buat, bahwa PKn bisa jadi tidak menarik bagi siswa-siswa yang berorientasi IPA. Nyatanya, saya bisa dibuat tidak menyukai ilmu-ilmu sosial termasuk PKn dan sejarah yang seharusnya menjadi hal yang penting untuk diketahui. Malahan IPA sukses mencetak saya menjadi siswa yang jago mata pelajaran kimia yang menghantarkan saya menjuarai olimpiade kimia di SMA dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Indonesia. Ironis! Hehehe...

Masuk ke Pendidikan Tinggi, terdapat mata kuliah yang bernama Kewarganegaraan. Hanya 2 sks saja! Inilah masa dimana mahasiswa teknik berorientasi IPA ditabrakkan dengan paksaan untuk belajar ilmu sosial. Bisa ditebak! Banyak mahasiswa yang memasang tampang bosan dalam mendengarkan ceramah. Tidak menarik! Saya seperti menjadi mahasiswa yang aneh di kelas. Mahasiswa disorientasi. Hal ini dikarenakan saya selalu bersemangat untuk mengikuti mata kuliah ini. Tidak jarang saya membawa buku-buku besar yang substansinya ingin saya diskusikan dengan dosen tersebut. Diskusi ini tidak hanya di dalam kelas, namun tidak jarang berlanjut melalui pesan elektronik. Namun semua itu berubah ketika saya berdiskusi mengenai syarat dan kriteria Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah yang bersumber pada UU. No. 20 Tahun 2009 pasal 25 dan 26. Ketika itu saya dan beliau membahas mengenai apakah Kartini layak menjadi Pahlawan Nasional? Ternyata kami membuat konklusi yang berbeda. Saya tidak setuju jika Kartini menjadi Pahlawan Nasional, namun beliau menyetujuinya. Kurang puas berdiskusi melalui pesan elektronik, saya menghampiri ruangan beliau. Terjadi perdebatan disana! Sebenarnya saya tidak ingin berdebat, namun beliau menunjukkan sikap arogan bahwa beliau adalah yang paling benar dan pendapat beliau tidak boleh dipatahkan. Saya mengalah! Bukan mengalah karena kalah, tetapi saya menghargai beliau sebagai bapak yang umurnya lebih tua dari saya. Hanya itu! Setelah peristiwa itulah saya kehilangan semangat untuk mengikuti perkuliahaan beliau. Malas! Rasa-rasanya apa yang dikatakan Soe Hok Gie menjadi landasan saya untuk bersikap : “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk ke tong sampah”

Nilai pun keluar! Kewarganegaraan memang menjadi salah satu mata kuliah yang mengobral nilai bagus. Hampir semua kelas mendapatkan nilai dengan rentang A sampai B. Namun mata yang sibuk melihat nilai-nilai indah ini  terhenti di nama saya yang mendapatkan nilai BC. Apalah itu, tidak ada pikiran untuk memprotes nilai tersebut karena saya meyakini pasti akan berakhir dengan perdebatan seperti waktu itu. Saya mencoba berpikir positif bahwa nilai ini merupakan akumulasi dari seringnya saya bolos dan tidak ada hubungan dengan perdebatan tersebut.

(Konklusinya? Silahkan dipetik sendiri ^_^ )

2 komentar:

  1. seburuk itukah pkn bagimu?? :)

    BalasHapus
  2. Sekarang udah PKn.

    Buat PKn ga susah sebetulnya cuma memang ada kriteria khusus. Misalnya nih nilai harian minimal 5 nilai kemudian nanti dibagi 5. Nilai tugas juga sama, dan seterusnya.

    Intinya sih memang ga sesulit itu asal mau berusaha lebih.

    BalasHapus