KAJIAN KENAIKAN TARIF
TENAGA LISTRIK
Menyonsong tahun baru 2013, pemerintah memberikan
hadiah kepada masyarakat Indonesia dengan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebesar
15% per tanggal 1 Januari 2013 yang lalu. Menurut Peraturan Menteri ESDM No. 30
Tahun 2012, kenaikan TTL ini akan diberlakukan dalam empat tahap kenaikan per
triwulan hingga akhir tahun 2013. Apa
yang mendasari kenaikan TTL ini? Dalam konteks penyesuaian TTL, benarkah skema
kenaikan sebenarnya adalah sebesar 15%?
Kebijakan Pragmatis, Solusi
Instan
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang diproyeksikan pada tahun 2013, subsidi energi masih menempati posisi
dominan, termasuk kebijakan subsidi listrik. Untuk itu, pemerintah berupaya menekan
tingginya subsidi tersebut untuk menyehatkan fiskal dan mengurangi volume
konsumsi yang berlebihan. Pemerintah beranggapan bahwasanya penekanan subsidi tersebut
akan dapat dialokasikan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan program
prioritas lainnya[1].
Perkembangan subsidi listrik dari tahun ke tahun
memang cenderung naik. Dalam 10 tahun terakhir, tren subsidi listrik meningkat
dengan rata-rata kenaikan Rp. 43,389 Triliun[2].
Dalam skema pengendalian subsidi listrik, secara umum dipengaruhi oleh dua faktor
yakni BPP + margin dan pendapatan. Pendapatan
diperoleh melalui TTL yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk BPP, dipengaruhi oleh banyak faktor, khususnya
biaya energi primer untuk pembangkitan listrik. Sedangkan margin adalah jaminan
atau pinjaman (modal) yang diberikan oleh pemerintah. Tujuannya agar PT. PLN
(PERSERO) memiliki fleksibilitas dalam mencari dana untuk keperluan investasi
dalam rangka meningkatkan kapasitas pasokan dan memperluas jaringan listrik di
Indonesia. Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam pengendalian subsidi listrik dapat
dilakukan dengan menaikkan TTL atau menekan BPP.
Melihat tren yang terjadi dan mengabaikan subsidi
listrik, jelas terlihat bahwa PT. PLN (PERSERO) terus mengalami kerugian. Hal
ini dikarenakan harga BPP terlampau jauh dengan TTL yang ditetapkan oleh
pemerintah. Ironisnya, harga BPP memiliki kecenderungan terus meningkat dari
tahun ke tahun. Berkaca pada kondisi bauran energi pembangkit listrik pada
tahun 2012, energi tak terbarukan masih mendominasi, salah satunya Bahan Bakar Minyak
yakni sekitar 13,83%. Tentunya kita telah mengetahui bersama bahwa harga diesel
termasuk HSD, terus mengalami kenaikan. Tercatat tahun 2011, harga HSD menembus
Rp. 8.513,27 / liter[3].
Mungkin terlihat kecil, namun jika untuk membangkitkan 1 Mega Watt (MW)
dibutuhkan sekitar 28 kilo liter HSD, maka 1 MW diperlukan biaya kurang lebih
Rp. 8,5 juta. Padahal kapasitas pembangkit yang terpasang membutuhkan lebih
dari 5.000 MW. Jika dikalkulasikan akan menjadi angka yang besar, bukan?
Selain BBM,
dominasi bauran energi pembangkit listrik dari energi tak terbarukan juga diisi oleh gas alam. Walaupun Indonesia
bukan termasuk kategori pemilik cadangan gas alam terbesar di dunia, namun
cadangan gas alam di Indonesia masih cukup besar yaitu diperkirakan 164,99 Tscf
yang tersebar terutama di kepulauan Natuna (53,06 Tscf), Sumatera Selatan
(26,68 Tscf), dan Kalimantan Timur (21,49 Tscf) serta Tangguh di Irian Jaya
yang diperkirakan setara dengan cadangan di Natuna[4].
Potensi gas ini sebenarnya mampu menjadi opsi yang bagus dalam pemenuhan energi
primer untuk pembangkitan. Pasalnya, selain ketersediaannya yang cukup
melimpah, harganya pun 20% lebih murah disbanding HSD. Namun pada kenyataannya,
kebutuhan gas alam untuk pembangkitan listrik di Indonesia tidak selalu terpenuhi.
PLN menghadapi persoalan ini hamper diseluruh pembangkitnya yang berbahan bakar
gas. Pasokan gas ke pusat pembangkit PLN pada kenyataannya mengalami penurunan,
ketidakpastian, bahkan kelangkaan pasokan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Mungkin kita masih ingat laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor : 30 / Auditama
VII / PDTT / 09 / 2011 tertanggal 16 September 2011 menemukan bahwa kebutuhan gas
PT. PLN (PERSERO) pada 8 unit pembangkit yang berbasis dual firing tidak
terpenuhi. Kemudian pembangkit-pembangkit tersebut harus di suplai dengan BBM. Akibatnya,
terjadi inefisiensi yang menyebabkan kerugian PT. PLN (PERSERO) kurang lebih 37
Triliun pada tahun 2010 dan 2011. Bukti lain memaparkan pula bahwa dalam
produksi gas alam, pemerintah lebih mengutamakan ekspor daripada mengutamakan
kebutuhan domestik. Tercatat sekitar 53% gas alam di ekspor dan 41,2% adalah
untuk kebutuhan domestik. Sekali lagi, pemerintah belum mampu melaksanakan
dengan benar UUD 1945 pasal 33 tersebut.
Ditengah-tengah semakin meningkatnya permintaan
terhadap kebutuhan listrik dan tersanderanya Indonesia dalam teknologi untuk
mengolah energi terbarukan, memaksa Presiden menerbitkan Perpres nomor
71 tahun 2006 yang menugaskan kepada PT. PLN (PERSERO) untuk melakukan
percepatan pembangunan PLTU dengan bahan bakar batu bara. Proyek ini kita kenal
dengan proyek 10.000 MW. Tujuan pemerintah memanfaatkan batu-bara adalah karena
murah dan ketersediaannya masih cukup menjamin. Dalam perencanaannya, proyek
ini berakhir pada tahun 2012. Namun nyatanya, proyek ini molor sehingga masih
cukup banyak pembangkit yang belum dapat beroperasi. Selain itu, proyek ini
juga menuai banyak kritik dari pengamat lingkungan. Pasalnya, Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu-bara ini menghasilkan emisi CO2
yang menjadi penyebab utama global
warming.
Jelas, dibalik
‘keruwetan’ upaya dalam menekan BPP karena kebijakan-kebijakan yang kurang
tepat sasaran dan terkesan ‘linglung’ dalam bersikap, akhirnya pemerintah
mengambil kebijakan pragmatis untuk mendapatkan solusi yang instan, yakni
dengan menaikkan TTL. Bisa ditebak, rakyat lah yang kembali menjadi korban.
15% Adalah Angka Absurd
Menurut Permen ESDM No. 30 Tahun 2012, penyesuaian
kenaikan TTL 15% ini dikenakan kepada pelanggan dengan daya 1.300 VA ke atas. Dalam
hal ini, pemerintah berupaya untuk memperbaiki struktur kelompok penerima
subsidi sesuai dengan target sasaran. Pengelompokan golongan TTL secara umum
dibagi menjadi 9 kelompok, yakni TTL untuk keperluan sosial, rumah tangga, bisnis,
industri, penjualan traksi pada tegangan
menengah, penjualan curah pada tegangan menengah, dan layanan khusus pada
tegangan rendah.
Berkaca pada skema kenaikan TTL dalam empat tahap
per triwulan hingga akhir tahun 2013, benarkah kenaikkannya hanya 15%? Nyatanya,
menurut perhitungan kami yang diperoleh dari perbandingan TTL tahun 2013 dengan TDL tahun
2010 kenaikan memiliki variasi dari 16% hingga 29%. Kita ambil contoh golongan
rumah tangga, bisnis, dan industri dengan daya 1.300 VA :
1. Golongan rumah tangga.
Tarif semula TDL tahun 2010
adalah Rp. 790,- / kWh. Namun pada TTL tahun 2013 adalah Rp. 979,- / kWh.
Artinya kenaikan TTL adalah sebesar 23,9%.
2. Untuk golongan bisnis.
Tarif semula TDL tahun 2010
adalah Rp. 795,- / kWh. Namun pada TTL tahun 2013 adalah Rp. 966,- / kWh.
Artinya kenaikan TTL adalah sebesar 21,5%
3. Untuk golongan industri
Tarif semula TDL tahun 2010 adalah Rp.
765,- / kWh. Namun pada TTL tahun 2013 adalah Rp. 930,- / kWh. Artinya,
kenaikan TTL adalah sebesar 21,6%
Dari contoh diatas, kita tidak melihat adanya kenaikan 15% seperti
yang didengungkan selama ini[5].
Selain angka 15% yang absurd, strategi pemerintah
yang berupaya untuk memperbaiki struktur kelompok penerima subsidi sesuai
dengan target sasaran nyatanya juga tak jelas. Misal nya kita ambil contoh
golongan rumah tangga dan kantor pemerintah dengan daya yang sama yakni 1.300
VA. Rumah tangga mengalami kenaikan sebesar 23,9% namun untuk kantor pemerintah
kenaikannya hanya 19,2%. Selain itu, ketimpangan juga terjadi jika kita
membandingkan antara golongan bisnis dan industri pada golongan yang sama yakni
1.300 VA. Terlihat bahwa kenaikan relatif sama. Padahal kita ketahui bersama
bahwa untuk golongan bisnis dengan daya 1.300 VA biasanya merupakan pelanggan
dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang notabene pendapatannya cukup jauh
dibandingkan industri. Hal ini mampu memicu ratusan UKM untuk ‘gulung tikar’.
Sumber dari absurdnya angka 15% ini tidak lebih karena
tidak transparansinya kebijakan kenaikan TTL ini dibuat. Dalam Permen ESDM No.
30 Tahun 2012 sama sekali tidak ada penjelasan formulasi kenaikan 15% yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini PT. PLN (PERSERO) yang notabene
hanya menjadi pelaksana sulit mensosialisasikan kebijakan ini kepada
masyarakat. Alhasil PT. PLN (PERSERO) hanya seperti kerbau yang dicocok
hidungnya oleh pemerintah yang diperintahkan melaksanakan tugas-tugas tanpa ada
transparansi dan kebijakan yang jelas.
Sekali lagi kita disodori naskah kebijakan-kebijakan
siluman yang tentunya membutuhkan kritisisasi kita sebagai mahasiswa. Kebijakan
ini cenderung mudah diambil oleh pemerintah karena bukan termasuk dalam
kebijakan populis yang dapat menyebabkan resistansi dan tekanan politis yang
besar seperti kenaikan BBM. Namun tanpa terasa kebijakan TTL ini telah
membohongi dan membodohi rakyat Indonesia.
[1]
Presentasi Prof. Bambang Soemanteri Brodjonegoro, Pengendalian Subsidi BBM dan
Subsidi Listrik demi Kemajuan ekonomi Bangsa
[2] Presentasi
Ir. Satya Zulfanitra,M.Sc, Kebijakan Tarif Tenaga Listrik dan Subsidi Listrik
[3]
Outlook Energi Primer
[4]
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN (PERSERO) 2012 - 2021
[5]
Sosialisasi kenaikan TTL PT. PLN (Persero)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar