Kamis, 21 Februari 2013

KAJIAN KENAIKAN TARIF TENAGA LISTRIK



KAJIAN KENAIKAN TARIF TENAGA LISTRIK

Menyonsong tahun baru 2013, pemerintah memberikan hadiah kepada masyarakat Indonesia dengan  kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebesar 15% per tanggal 1 Januari 2013 yang lalu. Menurut Peraturan Menteri ESDM No. 30 Tahun 2012, kenaikan TTL ini akan diberlakukan dalam empat tahap kenaikan per triwulan hingga akhir tahun 2013. Apa yang mendasari kenaikan TTL ini? Dalam konteks penyesuaian TTL, benarkah skema kenaikan sebenarnya adalah sebesar 15%?

Kebijakan Pragmatis, Solusi Instan

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diproyeksikan pada tahun 2013, subsidi energi masih menempati posisi dominan, termasuk kebijakan subsidi listrik. Untuk itu, pemerintah berupaya menekan tingginya subsidi tersebut untuk menyehatkan fiskal dan mengurangi volume konsumsi yang berlebihan. Pemerintah beranggapan bahwasanya penekanan subsidi tersebut akan dapat dialokasikan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan program prioritas lainnya[1].

Perkembangan subsidi listrik dari tahun ke tahun memang cenderung naik. Dalam 10 tahun terakhir, tren subsidi listrik meningkat dengan rata-rata kenaikan Rp. 43,389 Triliun[2]. Dalam skema pengendalian subsidi listrik, secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yakni BPP + margin dan pendapatan. Pendapatan diperoleh melalui TTL yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk BPP,  dipengaruhi oleh banyak faktor, khususnya biaya energi primer untuk pembangkitan listrik. Sedangkan margin adalah jaminan atau pinjaman (modal) yang diberikan oleh pemerintah. Tujuannya agar PT. PLN (PERSERO) memiliki fleksibilitas dalam mencari dana untuk keperluan investasi dalam rangka meningkatkan kapasitas pasokan dan memperluas jaringan listrik di Indonesia. Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam pengendalian subsidi listrik dapat dilakukan dengan menaikkan TTL atau menekan BPP.

Melihat tren yang terjadi dan mengabaikan subsidi listrik, jelas terlihat bahwa PT. PLN (PERSERO) terus mengalami kerugian. Hal ini dikarenakan harga BPP terlampau jauh dengan TTL yang ditetapkan oleh pemerintah. Ironisnya, harga BPP memiliki kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Berkaca pada kondisi bauran energi pembangkit listrik pada tahun 2012, energi tak terbarukan masih mendominasi, salah satunya Bahan Bakar Minyak yakni sekitar 13,83%. Tentunya kita telah mengetahui bersama bahwa harga diesel termasuk HSD, terus mengalami kenaikan. Tercatat tahun 2011, harga HSD menembus Rp. 8.513,27 / liter[3]. Mungkin terlihat kecil, namun jika untuk membangkitkan 1 Mega Watt (MW) dibutuhkan sekitar 28 kilo liter HSD, maka 1 MW diperlukan biaya kurang lebih Rp. 8,5 juta. Padahal kapasitas pembangkit yang terpasang membutuhkan lebih dari 5.000 MW. Jika dikalkulasikan akan menjadi angka yang besar, bukan?

Selain BBM, dominasi bauran energi pembangkit listrik dari energi tak terbarukan  juga diisi oleh gas alam. Walaupun Indonesia bukan termasuk kategori pemilik cadangan gas alam terbesar di dunia, namun cadangan gas alam di Indonesia masih cukup besar yaitu diperkirakan 164,99 Tscf yang tersebar terutama di kepulauan Natuna (53,06 Tscf), Sumatera Selatan (26,68 Tscf), dan Kalimantan Timur (21,49 Tscf) serta Tangguh di Irian Jaya yang diperkirakan setara dengan cadangan di Natuna[4]. Potensi gas ini sebenarnya mampu menjadi opsi yang bagus dalam pemenuhan energi primer untuk pembangkitan. Pasalnya, selain ketersediaannya yang cukup melimpah, harganya pun 20% lebih murah disbanding HSD. Namun pada kenyataannya, kebutuhan gas alam untuk pembangkitan listrik di Indonesia tidak selalu terpenuhi. PLN menghadapi persoalan ini hamper diseluruh pembangkitnya yang berbahan bakar gas. Pasokan gas ke pusat pembangkit PLN pada kenyataannya mengalami penurunan, ketidakpastian, bahkan kelangkaan pasokan dalam beberapa tahun terakhir ini. Mungkin kita masih ingat laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor : 30 / Auditama VII / PDTT / 09 / 2011 tertanggal 16 September 2011 menemukan bahwa kebutuhan gas PT. PLN (PERSERO) pada 8 unit pembangkit yang berbasis dual firing tidak terpenuhi. Kemudian pembangkit-pembangkit tersebut harus di suplai dengan BBM. Akibatnya, terjadi inefisiensi yang menyebabkan kerugian PT. PLN (PERSERO) kurang lebih 37 Triliun pada tahun 2010 dan 2011. Bukti lain memaparkan pula bahwa dalam produksi gas alam, pemerintah lebih mengutamakan ekspor daripada mengutamakan kebutuhan domestik. Tercatat sekitar 53% gas alam di ekspor dan 41,2% adalah untuk kebutuhan domestik. Sekali lagi, pemerintah belum mampu melaksanakan dengan benar UUD 1945 pasal 33 tersebut.

Ditengah-tengah semakin meningkatnya permintaan terhadap kebutuhan listrik dan tersanderanya Indonesia dalam teknologi untuk mengolah energi terbarukan, memaksa Presiden menerbitkan Perpres nomor 71 tahun 2006 yang menugaskan kepada PT. PLN (PERSERO) untuk melakukan percepatan pembangunan PLTU dengan bahan bakar batu bara. Proyek ini kita kenal dengan proyek 10.000 MW. Tujuan pemerintah memanfaatkan batu-bara adalah karena murah dan ketersediaannya masih cukup menjamin. Dalam perencanaannya, proyek ini berakhir pada tahun 2012. Namun nyatanya, proyek ini molor sehingga masih cukup banyak pembangkit yang belum dapat beroperasi. Selain itu, proyek ini juga menuai banyak kritik dari pengamat lingkungan. Pasalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu-bara ini menghasilkan emisi CO2 yang menjadi penyebab utama global warming.

Jelas, dibalik ‘keruwetan’ upaya dalam menekan BPP karena kebijakan-kebijakan yang kurang tepat sasaran dan terkesan ‘linglung’ dalam bersikap, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan pragmatis untuk mendapatkan solusi yang instan, yakni dengan menaikkan TTL. Bisa ditebak, rakyat lah yang kembali menjadi korban.

15% Adalah Angka Absurd

Menurut Permen ESDM No. 30 Tahun 2012, penyesuaian kenaikan TTL 15% ini dikenakan kepada pelanggan dengan daya 1.300 VA ke atas. Dalam hal ini, pemerintah berupaya untuk memperbaiki struktur kelompok penerima subsidi sesuai dengan target sasaran. Pengelompokan golongan TTL secara umum dibagi menjadi 9 kelompok, yakni TTL untuk keperluan sosial, rumah tangga, bisnis, industri,  penjualan traksi pada tegangan menengah, penjualan curah pada tegangan menengah, dan layanan khusus pada tegangan rendah.

Berkaca pada skema kenaikan TTL dalam empat tahap per triwulan hingga akhir tahun 2013, benarkah kenaikkannya hanya 15%? Nyatanya, menurut perhitungan kami yang diperoleh dari  perbandingan TTL tahun 2013 dengan TDL tahun 2010 kenaikan memiliki variasi dari 16% hingga 29%. Kita ambil contoh golongan rumah tangga, bisnis, dan industri dengan daya 1.300 VA :

1. Golongan rumah tangga.
Tarif semula TDL tahun 2010 adalah Rp. 790,- / kWh. Namun pada TTL tahun 2013 adalah Rp. 979,- / kWh. Artinya kenaikan TTL adalah sebesar 23,9%.

2. Untuk golongan bisnis.
Tarif semula TDL tahun 2010 adalah Rp. 795,- / kWh. Namun pada TTL tahun 2013 adalah Rp. 966,- / kWh. Artinya kenaikan TTL adalah sebesar 21,5%

3. Untuk golongan industri
Tarif semula TDL tahun 2010 adalah Rp. 765,- / kWh. Namun pada TTL tahun 2013 adalah Rp. 930,- / kWh. Artinya, kenaikan TTL adalah sebesar 21,6%
Dari contoh diatas, kita tidak melihat adanya kenaikan 15% seperti yang didengungkan selama ini[5].

Selain angka 15% yang absurd, strategi pemerintah yang berupaya untuk memperbaiki struktur kelompok penerima subsidi sesuai dengan target sasaran nyatanya juga tak jelas. Misal nya kita ambil contoh golongan rumah tangga dan kantor pemerintah dengan daya yang sama yakni 1.300 VA. Rumah tangga mengalami kenaikan sebesar 23,9% namun untuk kantor pemerintah kenaikannya hanya 19,2%. Selain itu, ketimpangan juga terjadi jika kita membandingkan antara golongan bisnis dan industri pada golongan yang sama yakni 1.300 VA. Terlihat bahwa kenaikan relatif sama. Padahal kita ketahui bersama bahwa untuk golongan bisnis dengan daya 1.300 VA biasanya merupakan pelanggan dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang notabene pendapatannya cukup jauh dibandingkan industri. Hal ini mampu memicu ratusan UKM untuk ‘gulung tikar’.

Sumber dari absurdnya angka 15% ini tidak lebih karena tidak transparansinya kebijakan kenaikan TTL ini dibuat. Dalam Permen ESDM No. 30 Tahun 2012 sama sekali tidak ada penjelasan formulasi kenaikan 15% yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini PT. PLN (PERSERO) yang notabene hanya menjadi pelaksana sulit mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat. Alhasil PT. PLN (PERSERO) hanya seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh pemerintah yang diperintahkan melaksanakan tugas-tugas tanpa ada transparansi dan kebijakan yang jelas.

Sekali lagi kita disodori naskah kebijakan-kebijakan siluman yang tentunya membutuhkan kritisisasi kita sebagai mahasiswa. Kebijakan ini cenderung mudah diambil oleh pemerintah karena bukan termasuk dalam kebijakan populis yang dapat menyebabkan resistansi dan tekanan politis yang besar seperti kenaikan BBM. Namun tanpa terasa kebijakan TTL ini telah membohongi dan membodohi rakyat Indonesia.


[1] Presentasi Prof. Bambang Soemanteri Brodjonegoro, Pengendalian Subsidi BBM dan Subsidi Listrik demi Kemajuan ekonomi Bangsa
[2] Presentasi Ir. Satya Zulfanitra,M.Sc, Kebijakan Tarif Tenaga Listrik dan Subsidi Listrik
[3] Outlook Energi Primer
[4] Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN (PERSERO) 2012 - 2021
[5] Sosialisasi kenaikan TTL PT. PLN (Persero)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar